Sabtu, 30 Maret 2013

PERSON-CENTERED THERAPY (CARL ROGERS)



Carl Rogers dengan aliran konseling humanistik memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa eraktualisasi diri).
Dengan pandangan dasarnya tentang manusia tersebut, Rogers membagi teori kepribadiannya ke dalam 4 bagian yang paling utama, yaitu :
1.        Teori Diri (Self-Theory)
Rogers dalam hal ini percaya bahwa pada hakikatnya manusia berada dalam sebuah dunia yang tidak pernah berubah di mana sesungguhnya, dialah yang menjadi pusat dari kesemuanya itu. Rogers percaya bahwa diri(self) bukan merupakan sebuah struktur yang tetap, tetapi merupakan struktur yang berada dalam suatu proses, memiliki kemampuan baik untuk keadaan yang stabil maupun perubahan. Diri (self) sendiri terbagi ke dalam alam sadar(conscious) dan alam tak sadar (unconscious).
Rogers juga menyebut nama organisme,untuk semua pengalaman-pengalaman psikologis. Secara lebih jelasnya, organisme adalah medan fenomenal yang hanya dapat diketahui oleh individu itu sendiri. Pengalaman fenomenal itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu pengalaman sadar (dilambangkan) dan pengalaman tak sadar (tidak dilambangkan).
2.        Kejadian dan Pengalaman yang bernilai
Person-centered therapy didasarkan pada kepercayaan bahwa diri memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapinya sendirian. Person-centered therapy mengutamakan pemahaman atas pengalaman-pengalaman pribadi yang dialami oleh individu. Merasakan pengalaman (memahami) merupakan cara yang akurat untuk memahami diri sendiri dan lingkungannya.
3.        Potensi untuk tumbuh dan belajar
Rogers percaya bahwa kecenderungan aktualisasi dan perkembangan diri melekat sangat kuat dalam diri setiap manusia. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya sesuai dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Hanya saja, yang terkadang menjadi masalah adalah orang-orang tersebut kurang paham mengenai kelebihan, kekurangan, dan potensi yang dimilikinya itu.
4.        Kondisi-kondisi yang berharga
Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan untuk mengarahkan dan mempertinggi dirinya sendiri. Sehingga manusia merasa memerlukan dua hal utama, yaitu penghargaan positif dan penghargaan diri.
Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa person-centered therapy memandang individu itu ada dari kebermaknaannya pada diri sendiri, orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Individu bisa dikatakan ada karena sumbangan yang diberikannya pada baik diri sendiri, orang lain, serta lingkungannya.

Karakteristik Konseling
a.         Karakteristik Dasar Konseling
Konseling dengan pendekatan person-centered therapy, menekankan beberapa karakteristik utama, di antaranya adalah sebagai berikut :
v  Pada dasarnya, konseli yang ada dalam konseling memiliki daya potensi yang kreatif
v  Konseling dan terapi seharusnya hanya membantu konseli untuk menerima keunikan dirinya dibandingkan dengan orang lain serta memperoleh kepercayaan dirinya
v  Konseli dalam proses konseling merupakan tokoh pusat (central figure), sedangkan fungsi konselor hanyalah untuk membantu konseli mengakses kekuatan daya kreasi mereka, agar mereka bisa mengeluarkannya dan memanfaatkaanya secara lebih optimal
v  Konselor seharusnya dalam proses konseling tidak mencari-cari kesempatan untuk mendidik atau mengajar konseli
v  Konselor bekerja ketika konseli sudah sepenuhnya memahami dan mengalami apa yang terjadi di masa sekarang sesuai dengan pengaturan atau setting konseling
v  Konselor hendaknya menghormati konseli apa adanya
v  Konselor hendaknya mempercayai konseli sesungguhnya

b.        Prinsip Dasar Aplikasi Multikultural
Sensitivitas serta pemberian penghargaan positif tanpa syarat kepada konseli yang memiliki masalah dan kepercayaan kebudayaan serta latar belakang mereka, membuat person-centered therapy menjadi salah satu model konseling yang cukup populer. Sehingga meskipun pertama kalinya digunakan di Amerika Serikat, namun person-centered therapy juga banyak dikenal di Jepang, Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan beberapa Negara di Eropa serta Inggris.
Pada intinya, person-centered therapy bisa dilakukan secara tidak langsung dengan orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kita. Sebagai contohnya, jika konselor terlalu menampilkan sikap kongruennya, maka para konseli akan lebih mudah untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan lebih terbuka lagi. Tetapi Rogers juga menyatakan bahwa model konseling yang dimilikinya paling cocok jika digunakan di Amerika.

c.         Perkembangan Person-Centered Therapy
Person-centered therapy mengalami beberapa fase perkembangan, yaitu :
v  Konseling Nondirektif, dimulai pada tahun 1940an, dan ditumbuh kembangkan oleh Rogers sebagai metode terapi konseling tradisional
v  Client-centered therapy, pada tahun 1950an. Ciri utamanya adalah mengubah pendekatan yang digunakan oleh Rogers, dari teknik pendekatan non direktif, menjadi menghormati kemampuan konseli untuk menjalankan proses konseling
v  Person-centered therapy, selama tahun 1960an, Rogers lebih menekankan konselingnya pada perkembangan diri, sehingga model konselingnya ia ubah menjadi model konseling person-centered therapy.

Kondisi Intervensi
a.         Tujuan Konseling
Tujuan utama pendekatan person-centered therapy adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu konseli menjadi pribadi yang utuh, yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya dirinya. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam pemdekatan person-centered, sebab konselor digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada konseli untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri.
Secara lebih terperinci, tujuan konseling person-centered adalah :
v  Membantu konseli untuk menyadari kenyataan yang terjadi terhadap dirinya
v  Membantu konseli untuk membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru
v  Menumbuhkan kepercayaan diri konseli
v  Membantu konseli membuat keputusan sendiri
v  Membantu konseli menyadari bahwa manusia tumbuh dalam suatu proses

b.        Keadaan Konselor
Dalam konseling menggunakan metode person-centered therapy, yang harus ditunjukkan konselor pada konseli adalah tiga hal yang paling utama, yaitu :
1)        Unconditional Positive Regard (Penerimaan Positif tanpa Syarat/Acceptance)
Unconditional positive regard adalah suatu keadaan yang sama dengan acceptance, menghormati serta menghargai. Meliputi penegasan pada nilai-nilai konseli sebagai bagian dari manusia atau organisme yang berpikir, merasa, percaya dan makhluk yang menyeluruh, diterima oleh konselor dalam kondisi apapun tanpa syarat tertentu. Person-centered therapy percaya jika konselor mampu menerima konseli apa adanya, maka konseli akan mulai berpikir mengenai siapa dirinya sebenarnya, dan apa yang sebenarnya dia inginkan. Dengan menunjukkan sikap acceptance seperti apapun konselinya, maka konselor mengajak konseli untuk mulai menerima dirinya sendiri.
2)        Empathy (Empati)
Empati adalah suatu keadaan di mana konselor berusaha untuk ikut merasakan apa yang konseli rasakan, ikut masuk ke dalam dunia konseli, ikut melihat dan mengalami apa yang dilihat dan dialami oleh konseli tetapi tidak ikut hanyut dalam dunia atau kerangka berpikir konseli tersebut.
Macam-macam empati :
a)    Empati intelektual, termasuk melihat dunia dari perspektif konseli dalam lingkup intelektual
b)   Empati emosi, terjadi ketika secara alamiah atau spontan, konselor mulai merasakan emosi dalam merespons dunia konseli dalam lingkup emosi
c)    Empati imajinasi, termasuk bertanya pada diri sendiri “Bagaimana jika saya berada pada posisi konseli saya?”

3)        Congruence (Kongruen/ Asli/ Genuine)
Kongruen didefinisikan sebagai ke otentikan atau keaslian dari diri konselor. Kongruen yang dilakukan oleh konselor adalah benar-benar suatu kenyataan, keterbukaan, dan kejujuran. Kongruen diartikan pula bahwa konselor mampu mengekspresikan kedua hal baik positif maupun negatif pada konseli.

c.         Keadaan Konseli
Konseli yang bisa dibantu menggunakan person-centered therapy, di antaranya adalah konseli dengan kondisi awal sebagai berikut :
1)        Konseli takut pada konselor dan konseling itu sendiri
2)        Konseli tidak bisa mengekspresikan pengalaman-pengalamannya
3)        Konseli menggunakan pandangan orang lain atau lingkungan sekitarnya dalam mengevaluasi tindakan dirinya
4)        Konseli menunjukkan perasaan negatif baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, misalkan tidak bisa mempercayai konselor
5)        Konseli belum bisa menerima tanggung jawab pada diri sendiri
6)        Konseli sering memandang dunia dengan suatu cara mekanik, sehingga menyulitkan diri untuk memisahkan objek dari pengalaman, fakta, daan situasi eksternal.

d.   Situasi Hubungan
Menurut person-centered therapy, jika kita sebagai konselor bisa menyediakan tipe hubungan tertentu, maka orang lain akan dapat menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, yang mengakibatkan pada terjadinya perkembangan pribadi.
Dari sisi Rogers, dijelaskan pula bahwa hubungan antara konselor dan konseli dicirikan oleh adanya kedudukan yang sejajar dan kesamaan derajat antara konseli dan konselor.
Beberapa poin yang bisa digunakan untuk menunjang perubahan kepribadian konseli dalam person-centered therapy adalah sebagai berikut :
1)        Ada dua orang dalam kontak psikologis
2)        Orang pertama disebut sebagai klien/ konseli yang berada pada tahap yang inkongruen, mudah dipengaruhi, dan cemas atau khawatir
3)        Orang kedua yang dinamakan konselor adalah orang yang kongruen dan terintegrasi dalam hubungan tersebut
4)        Konselor memberikan penghargaan positif tidak bersyarat pada konseli
5)        Konseli melakukan pemahaman empati sesuai dengan kerangkan berpikir konseli tanpa harus terhanyut dalam dunia konseli dan berusaha untuk mengkomunikasikan empatinya tersebut pada konseli
6)        Yang dikomunikasikan kepada konseli berupa empati maupun penghargaan positif tak bersyarat adalah komunikasi yang sesedikit mungkin bisa diterima oleh konseli

Kekuatan Dari Perspektif Keragaman
Salah satu kekuatan dari person-centered approach adalah dampaknya pada bidang hubungan manusia dengan kelompok budaya yang beragam. Penekanan pada kondisi inti membuat person-centered approach  berguna dalam memahami beragam pandangan dunia. Filosofi yang mendasari person-Centered Therapy  didasarkan pada pentingnya mendengar pesan yang lebih dalam clientnya. Empati, kehadiran, dan menghormati nilai-nilai klien adalah sikap penting dan keterampilan dalam konseling klien pada budaya yang beragam.

Kekurangan Dari Perspektif Keragaman
Kelemahan pertam adalah klien masih merasa belum puas dengan teori pendekatan ini, dan meminta cara-cara yang lebih dari para profesional untuk dapat mempermudah mereka dalam menghadapi masalah yang mereka hadapi. Kelemahan kedua dari pendekatan yang berpusat pada orang adalah bahwa sulit untuk menerjemahkan kondisi terapi inti ke dalam praktek yang sebenarnya dalam budaya tertentu. Kelemahan ketiga dalam menerapkan pendekatan berpusat pada orang dengan klien dari beragam budaya berkaitan dengan fakta bahwa pendekatan ini menilai suatu fokus internal evaluasi.


Referensi :
Feist, Jess  & Gregory J, Fest. (2011). Teori kepribadian, edisi 7 buku 2. Jakarta : Salemba Humanika.
Surya, Prof. DR. H. Mohamad. (2003). Teori-teori konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

Kamis, 21 Maret 2013

Terapi Humanistik-Eksistensial



A.    Latar Belakang Humanistik Eksistensial
Istilah Psikologi Humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.

B.     Proses Terapeutik
Sasaran Terapeutik
Sasaran dasar dar banyak sistem terapeutik adalah membuat individu mampu menerima kebebasan yang menimbulkan kekaguman untuk bertindak serta bertaggungjawab yang harus dipikul atas tindakan itu. Eksistensialisme berpendapat bahwa orang tidak bisa melarikan diri dari kebebasan, dalam arti bahwa kita selalu dituntut untuk memikul tanggung jawab. Namun, kita bisa mengingkari kekbesan kita, yaitu yang merupakan ketidakotentikan akhir. Terapi eksistensial berusaha agar klien bisa keluar dari belenggu yang kuat itu dan mau menantang kecenderungan mereka yang sempit dan  bersifat memaksa, yang merupakan ganjalan dari kebebasan mereka. Meskipun proses ini memberi si individu rasa terbebas dari kungkungan dan otonomi yang bertambah, kebebasan baru ini akan berakibat timbulnya kecemasan.
Anggapan terbaik tentang terapi eksistensial adalah bahwa terapi ini merupakan undangan kepada klien untuk mengenal cara-cara untuk tidak hidup sepenuhnya otentik dan membuat pilihan yang menuntun mereka hidup yang patut dan menjadi makhluk yang bekemampuan. Pendekatan ini tidak berfokus pada mengobati penyakit atau pengaplikasian teknik problem­-solving untuk bisa melakukan tugas yang kompleks demi terlaksananya kehidupan otentik.
Tugas eksistensial terapi adalah mengajar klien mendengarkan apa yang telah mereka ketahui tentang diri mereka sendiri, meskipun mereka mungkin tidak memperhatikan apa yang telah mereka ketahui.

Aplikasi : Prosedur dan Teknik Terapeutik
Menurut Baldwin (1987), inti dari terapi ini adalah penggunaan pribadi terapis.
1.         Kapasitas Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi Konseling
Meningkatkan kesadaran diri, yang mencakup kesadaran akan adanya alternative, motivasi, factor yang mempengaruhi seseorang dan tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling. Adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa peningkatan kesadaran memerlukan imbalan.
2.         Kebebasan dan Tanggung Jawab : Implikasi Konseling
Terapis eksistensial terus-menerus mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas situasi mereka. Mereka tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan kekuatan dari luar, ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien tidak mau mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka untuk ikut terlibat dalam usaha perubahan pribadi (May & Yalom, 1989; Yalom 1980).
Terapis membantu klien dalam menemukan betapa mereka telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat mereka untuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan itu. Kalau tidak berbuat seperti itu berarti klien tak mampu berjalan dan secara neurotik menjadi tergantung pada terapis. Terapis perlu mengajarkan klien bahwa secara eksplisit mereka menerima fakta bahwa mereka memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya.
3.         Usaha Untuk Mendapatkan Identitas dan Bisa Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi Konseling
Bagian dari langkah terapeutik terdiri dari tugasnya untuk menantang klien mereka untuk mau memulai meneliti cara dimana mereka telah kehilangan sentuhan identitas mereka, terutama dengan jalan membiarkan orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses terapi itu sendiri sering menakutkan bagi klien manakala mereka melihat kenyataan bahwa mereka telah menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam hubungan terapi mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan menolak untuk memberikan penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis memaksa klien berkonfrontasi dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus bisa menemukan jawaban mereka sendiri.
4.         Pencarian Makna : Implikasi Konseling
Berhubungan dengan konsep ketidakbermaknaan adalah apa yang oleh pratis eksistensial disebut sebagai kesalahan eksistensial. Ini adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan ketidaksempurnaan atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah kesadaran bahwa tindakan serta pilihan sesorang mengungkapkan kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai pribadi. Manakala orang mengabaikan potensi-potensi tertentu yang dimiliki, maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini. Beban kesalahan ini tidak dipandang sebagai neurotik, juga bukan sebagai gejala yang memerlukan penyembuhan. Yang dilakukan oleh terapis eksistensial adalah menggalinya untk mengetahui apa yang bisa dipelajari klie tentang cara mereka menjalani kehidupan. Dan ini bisa digunakan untuk menantang kehadiran makna dan arah hidup.
5.         Kecemasan Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi Konseling
Kecemasan merupakan materi dalam sesi terapi produktif. Kalau klien tidak mengalami kecemasan maka motivasi untuk mengalami perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis yang berorientasi eksistensial dapat menolong klien mengenali bahwa belajar bagaimana bertenggang rasa dengan keragu-raguan dan ketidakpastian dan bagaimana caranya hidup tanpa ditopang bisa merupakan tahap yang perlu dialami daam perjalanan dari hidup yang serba tergantung kea lam kehidupan sebagai manusia yang lebih autonom. Terapis dan klien dapat menggali kemungkinan yang ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa disertai dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa berkurang pada saat klien mengalami hal-hal yang ebih memuaskan dengan cara-cara hidup yang lebih baru. Maakala klien menjadi lebih percaya diri maka kecemasan mereka sebagai akibat dari ramalan-ramalan akan datangnya bencana akan mejadi berkurang.
6.         Kesadaran Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi Konseling
Latihan dapat memobilisasikan klien untuk secara sungguh-sungguh memantapkan waktu yang masih mereka miliki, dan ini bisa menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti kehidupan yang lebih bermakna.

Kelebihan Terapi Humanistik-Eksistensial
1.      Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri;
2.      Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri;
3.      Memanusiakan manusia.

Kelemahan Terapi Humanistik-Eksistensial
1.      Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal;
2.      Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas;
3.      Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri);
4.      Memakan waktu lama.

Referensi :
Corey, G. (1995). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Semarang : PT IKIP Semarang Press
Semiun,Yustinus. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Kanisius